Kamis, 23 Desember 2010

REVIEW Film Tron Legacy


Malang – Film TRON: Legacy merupakan sekuel dari film berjudul TRON yang rilis tahun 1982. TRON mendapat sambutan yang kurang baik pada saat itu, akan tetapi lambat laun menyandang status cult. TRON pun bisa berbangga karena disebut sebagai pelopor penggunaan efek visual yang menggabungkan animasi dan live-action ke dalam satu layar hampir tanpa cela (untuk masanya).
Tahun 2005, proyek sequel ini mulai dibangkitkan oleh Disney. Pada tahun 2008 di perhelatan Comic Con, ditampilkan sebuah klip sepanjang 2 menit yang merupakan sebuah test footage untuk TR2N (judul awal sebelum dirubah menjadi TRON: Legacy). Klip tersebut menarik perhatian banyak kalangan, karena selain klip tersebut terlihat menjanjikan. Sebelumnya tidak terdengar kabar bahwa Disney akan mebangkitkan kembali TRON melalui sebuah sekuel. Pada Comic Con 2009, klip serupa ditunjukkan kembali. Kali ini dengan menggunakan judul TRON: Legacy. Hal ini seperti sebuah konfirmasi dari pihak studio, bahwa sebuah sekuel sedang diproduksi dan akan rilis tahun 2010.
Ketika membuat film ini, Disney seperti melakukan perjudian besar dengan menggunakan sutradara debutan Joseph Kosinski untuk proyek sebesar TRON: Legacy. Kosinski merupakan sutradara spesialis iklan, khususnya yang terkait dengan CGI, seperti Halo versi Starry Night dan Gears of War versi Mad World. Pertimbangan ini yang diambil Disney untuk menggunakan Kosinski: Spesialisasinya di CGI. Pertaruhan Disney untuk menggunakan Kosinski bagi saya tampaknya kurang berhasil. TRON: Legacy memang menjadi sebuah film yang mencapai prestasi teknis yang sangat baik. Akan tetapi, film ini terkalahkan di segi narasi cerita dan pengembangan karakter.
Tidak ada yang spesial dari plot TRON: Legacy. Semuanya sangatlah biasa. Pada akhirnya tema yang diangkat adalah tema standar yang sudah sering diangkat oleh beribu film lainnya, yaitu penguasaan dunia. Sebetulnya walaupun sebuah film memiliki plot yang biasa, terkadang banyak cara untuk menceritakannya agar sesuatu yang biasa itu menjadi berbeda. Usaha ini tidak dilakukan oleh penggagas ide cerita Edward Kitsis, Adam Horowitz, Brian Klugman, dan Lee Sternthal.
Selama durasi film berjalan, cerita berjalan datar tanpa adanya lompatan atau kejutan. Pengembangan karakter pun tampaknya tidak dipikirkan oleh mereka. Hal ini berakibat pada akting para pemain yang seolah 'apa adanya', tanpa jiwa, dan berujung pada karakterisasi yang lemah.
Translasi cerita ke dalam naskah pun bisa disebut suatu kegagalan. Dialog yang terucap terkesan tanpa bobot dan datar. Hal ini berakibat pada jeleknya chemistry antar pemain yang seharusnya bisa digali lebih dalam mengingat adanya sub-tema hubungan ayah dan anak. Bahkan Jeff Bridges pun sepertinya tidak bisa mengembangkan karakternya. Dia terkesan seperti aktor yang baru memerankan beberapa film, terkesan amatir saat mengucapkan dialog, dan gagal menjadi sosok yang rindu akan anak yang tak pernah ditemuinya selama lebih dari 20 tahun.
Lalu, apa yang bisa dinikmati dari film ini? Jawabannya: Tampilan visual. Indah, tak bercela, dan keren. Saya akui, Kosinski bermain di arena keahliannya. Visual effect yang disajikan tampak menakjubkan. Dunia Grid tampak nyata tapi surealis di saat yang bersamaan. Light cycle yang dulu tampil di prekuelnya, kembali hadir dengan disain baru yang lebih futuristik dan elegan. Grid disajikan dalam bentuk struktur indah dengan kemilau cahaya yang gemerlap. Dan salah satu prestasi terbaik Kosinski dan tim spesial efeknya adalah, mengembalikan 'usia' Jeff Bridges sebanyak 28 tahun.
Kosinski sendiri menggunakan teknologi kamera 3D yang lebih canggih dibandingkan dengan yang digunakan James Cameron untuk film Avatar. Akan tetapi jika dibandingkan Avatar, efek 3D yang dihasilkan masih satu tingkat di bawahnya. Ini semata karena Avatar memiliki banyak detail dalam setiap frame gambarnya, termasuk palet warna yang sangat beragam. Sedangkan TRON: Legacy cenderung monoton, dengan pewarnaan yang gelap. Walau begitu, menyaksikan film ini dalam versi 3D menurut saya adalah keharusan. Karena jika disaksikan dalam versi 2D, anda tidak akan mendapatkan apapun selain tontonan lampu neon berpendar yang (mungkin) membosankan.
Selain tampilan visualnya yang memuaskan, prestasi terbak film ini ada pada scorenya yang ciamik dan luar biasa hasil komposisi duo Daft Punk. Hollywood tampaknya kini semakin berani melirik pemusik yang bukan spesialis music score, setelah baru-baru ini menggunakan Trent Reznor dan Atticus Ross untuk film The Social Network.
Duo Daft Punk sendiri menciptakan komposisi yang indah dengan memadukan musik elektronik khas milik mereka dengan orkestrasi yang terkadang lembut tetapi terasa megah; ataupun dengan musik yang menghentak dengan tempo yang cepat. Di saat filmnya tidak mampu bercerita dengan baik, lain halnya dengan music score-nya yang memiliki kekuatan untuk menggambarkan dunia The Grid secara sempurna. Entah, mungkin saking kuatnya impresi yang dihadirkan Daft Punk melalui score-nya, pada akhirnya saya lebih merasa menyaksikan konser Daft Punk yang diiringi pertunjukan 3D yang indah dibanding menyaksikan sebuah feature film.
Pesan saya bagi yang ingin menyaksikan film ini, set ekspektasi anda pada level terendah. Film ini semata hanyalah sajian visual (dan audio) yang menakjubkan, akan tetapi sayangnya tak mampu bercerita. Salahkan pada plot yang lemah, dialog yang tak berbobot, dan pengembangan karakter yang tersingkirkan yang membuat film ini kehilangan hati dan jiwanya. Tidak cukup buruk untuk menjadi kekecewaan di akhir tahun, tapi tidak cukup kuat untuk menjadi yang terbaik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar